Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerajaan Gowa-Tallo [Ekspedisi Islam Oleh Serambi Madinah dari Timur (Bagian 2)

Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo di seluruh Sulawesi Selatan, bahkan sampai kebagian timur Nusantara, telah memberikan pengaruh dan perubahan terhadap kehidupan sosial-masyarakat yang meliputi segala bidang; baik aspek politik, pemerintahan, ekonomi maupun sosial-budaya. Tentu perubahan ini mengarah pada islamisasi segala aspek kehidupan tersebut. Karena begitu kuatnya pengaruh Islam yang dikembangkan oleh para mubalig dengan dukungan para raja-raja yang telah memeluk Islam, maka rakyat kerajaan berbondong-bondong memeluk Islam tanpa dipaksa ataupun diancam.

Ini bisa kita lihat dari bagaimana proses islamisasi di Sulawesi Selatan yang dimulai pada abad ke-17 ini dapat mengubah sendi-sendi “Pangngadakkan (Makassar) atau Pangngaderreng (Bugis) yang menyebabkan pranata-pranata kehidupan sosial-budaya orang Makassar dan Bugis, Mandar dan lain-lain memperoleh warna baru, karena sara’ (syariah) telah masuk pula menjadi salah satu dari sendi-sendi adat-istiadat itu.

Pangadakkang/Pangngaderreng adalah sistem pranata sosial yang berisi kitab undang-undang dasar tertinggi orang Bugis/Makassar.1 Sistem pranata sosial ini sudah lama mengakar dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Bugis/Makassar. Sebelum Islam datang Pangngadakkan ini terdiri 4 sendi yaitu: Ade’ (Adat istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari’ (Sitem protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi lagi, yakni Sara’ (syariah Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan.

Dalam praktiknya, 4 (empat) dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Ade’ (Pelaksana Adat), yaitu Raja dan Pembantu-pembatunya; yang kelima dipegang oleh Parewa Sara’ (perangkat Syariat) dipimpin oleh Ulama, Imam, Kadi (Qodhi), dan para pembantunya. Kedua lembaga ini memiliki fungsi dan tugas sesuai dengan bidangnya masing-masing dan memiliki kekuasaan otonomi tersendiri. Pemimpin tertinggi Pampawa Ade’ adalah Raja yang khusus menangani pemerintahan. Pemimpin tertinggi Parewa sara’ adalah ulama yang menagani hal-hal yang berhubungan dengan syariah Islam. Adanya dikotomi tugas ini berimplikasi pada sistem pengaturan sosial selanjutnya, tetapi tidak berarti terjadi sekularisasi antara urusan Kerajaan dan keagamaan (bukan pemisahan negara dengan Islam, pen.). Sebab, dalam praktiknya, keduanya saling mengisi atau beriringan; namun adat tetap tunduk pada ajaran (syariah) Islam. Yang terjadi kemudian adalah syariah Islam tetap bertoleransi pada adat sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan syariah Islam. Karena syariah Islam telah masuk ke dalam sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng, maka wibawa dan kepatuhan rakyat pada Islam dan adat sama kuatnya.

Syariah Islam di Bidang Sosial-Kemasyaraktan

Beberapa contoh penerapan syariah Islam dalam undang-undang Pangngadakkan/Pangngaderreng dapat dilihat di antaranya:

1. Perzinaan.

Wanita atau pria yang berzina setelah menikah, yang dalam Islam dirajam, kemudian diterjemahkan dalam bentuk dicemplungkan hidup-hidup ke dasar laut.4 Jika yang bezina adalah pria atau wanita lajang maka dia dihukum cambuk.

2. Kawin Lari (Silariang [Makassar]).

Jika sepasang muda-mudi kawin lari (silariang) atau kabur, jika tiba di rumah Imam (Abballa’ imang/mabbola imang), ia akan dilindungi dari kejaran to masiri’na (mahram) demi menghargai otonomi Imam yang akan menikahkan mereka menurut syariah Islam. Jika ditemukan di luar rumah Imam, to masiri’na berhak menghukumnya sesuai dengan ketentuan adat karena berada di wilayah otonomi adat.

3. Wanita dalam menerima tamu, safar dan berpakain.

Terkait dengan para penjaga wanita Bugis-Makassar, istilah mahram diterjemahkan to masiri’na7 (diadopsi dari budaya siri’) yang berfungsi menjaga dan melindungi nama dan harkat perempuan. Itulah sebabnya jika tidak ada to masiri’na di dalam rumah, wanita dilarang menerima tamu laki-laki. Begitu pula jika bepergian, dia harus dikawal oleh to masiri’na (mahram) dan juga selalu menggunakan dua sarung, satu diikat dipinggang (appalikang [Makassar]) dan satunya lagi dipakai menutup kepala (berkerudung) atau “abbongong (Makassar)”. Begitu juga dalam pakain adat Gowa, sebelum Islam, sudah dikenal pakain Baju Bodo (baju yang lengannya pendek), lalu setelah Islam menjadi agama Kerajaan Gowa, maka baju Bodo diganti menjadi Baju Labbu. Demikian seperti dituturkan oleh Andi Kumala Idjo, SH selaku putra mahkota pewaris tahta Kerajaan Gowa sekarang ini, yang menggantikan Raja Gowa ke-36 Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang (1946-1960).8 [Gus Uwik]

Catatan kaki:
1 DR. Nurhayati Rahman, M.Hum, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007
2 Idem.
3 Idem.
4 Idem.
5 Andi Kumala Idjo, SH. “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 2007.
6 DR. Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007.
7 Idem.
8 Andi Kumala Idjo, SH. “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 2007.

Posting Komentar untuk "Kerajaan Gowa-Tallo [Ekspedisi Islam Oleh Serambi Madinah dari Timur (Bagian 2)"