Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TANPA ISLAM, TAK AKAN ADA PERUBAHAN MENDASAR

Oleh Farid Wadjdi

Berharap pada individu yang baik itu tepat kalau sistem atau aturan kehidupannya sudah bagus. Dalam sistem yang sudah bagus, individu yang baik akan menjadi inspirasi dan motor penggerak untuk menjalankan sistem yang bagus tersebut. Namun, jika sistemnya belum tepat dan sahih, inspirasi dan kebaikan dari individu tidaklah cukup untuk membawa perbaikan. Lihat saja, misalnya, kasus korupsi di Indonesia yang secara sistemik memang akut. Adanya orang-orang baik paling banter hanya sebatas tidak menerima atau mengembalikan uang korupsi tersebut, tidak sampai menghentikan korupsi massal itu sendiri. Terbukti, penolakan beberapa orang-orang baik terhadap uang korupsi tidak secara otomatis menjadikan korupsi itu kemudian terhenti.

Kejahatan atau kriminalitas pada dasarnya disebabkan oleh dua hal: niat untuk berbuat jahat dan kesempatan berbuat jahat. Sistem yang buruk dan tidak benar telah memberikan kesempatan yang luas bagi orang untuk berbuat jahat. Bahkan orang yang tadinya tidak berniat berbuat jahat pun, dalam sistem yang bobrok, besar kemungkinan akan terjerumus ke dalam perbuatan jahat. Sebaliknya, sistem yang baik akan menyempitkan kesempatan orang-orang untuk berbuat jahat. Yang berniat buruk pun akan tercegah. Sebab, sistem yang baik tersebut akan secara sistematis menghentikan niat jahat orang tersebut.

Sangat logis kalau Rasulullah saw., dalam perjuangannya, melakukan perubahan masyarakat tidak sebatas melakukan perubahan individu, atau menunggu semua penduduk individu Makkah untuk baik. Sebab, Rasululah saw. tahu persis, kerusakan yang terjadi pada masyarakat Makkah adalah bersifat sistemik: menyangkut pandangan hidup masyarakat (akidah) dan aturan-aturan kehidupan mereka. Karena itu, Rasulullah saw. dalam dakwahnya berupaya mengubah akidah yang keliru yang diadopsi oleh masyarakat dan mengkritisi aturan-aturan Jahiliah yang mengatur kehidupan mereka.

Namun, bukan berarti perubahan yang mendasar untuk menyelesaikan krisis masyarakat tidak membutuhkan orang-orang yang baik. Perubahan jelas membutuhkan individu-individu yang terbina pola pikir ('aqliyyah) maupun pola jiwa (nafsiyyah)-nya. Akan tetapi, perubahan bukan berarti menunggu setiap individu baik dulu, dengan alasan, individu yang baik otomatis akan mengubah sistem; atau cukup dengan mengangkat persoalan-persoalan individual sambil berharap terjadi perubahan sistem secara otomatis.

Perubahan mendasar sesungguhnya—di samping membutuhkan beberapa (bukan seluruh masyarakat) orang baik yang menjadi kader—juga memerlukan upaya membangun kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat sampai terbentuk opini umum yang mendukung terjadinya perubahan serta dukungan elit politik berpengaruh. Dengan itulah akan terbentuk sistem yang baik. Sistem yang baik inilah yang akan membentuk dan menjaga setiap individu masyarakat.

Rasulullah saw. memang membentuk individu-individu yang salih, yang menjadi kader-kader perubahan. Mereka digembleng dengan Islam sehingga memiliki kepribadian islami (syakhsiyyah islâmiyyah). Namun, bukan berarti dalam dakwahnya Rasulullah saw. menunggu individu-individu Makkah berubah dulu semuanya menjadi baik. Bahkan sebelum mayoritas penduduk Makkah menerima Islam, Rasulullah saw. sudah menyampaikan dakwahnya kepada orang-orang di luar Makkah seperti penduduk Thaif dan Madinah.

Rasulullah saw. juga tidak berhenti pada pembahasan individu, tetapi juga dengan berani mengkritik pandangan hidup dan aturan kehidupan masyarakat yang rusak, yang diadopsi oleh masyarakat Makkah. Beliau mengkritik kebiasan buruk perdagangan di Makkah yang penuh dengan tipudaya, tradisi melecehkan anak wanita dengan membunuhnya, serta ketidakhirauan mereka terhadap anak yatim dan orang-orang miskin. Wajar jika kemudian masyarakat Makkah bereaksi keras terhadap dakwah Rasulullah saw.

Perubahan: Harus Dimulai dari Sistem

Apa yang terjadi saat ini di tubuh umat adalah persoalan sistemik meliputi pandangan hidup yang menjadi asas kehidupan masyarakat dan aturan kehidupan yang diterapkan di tengah-tengah mereka. Saat ini akidah Islam tidak lagi menjadi asas kehidupan masyarakat. Memang, secara individual, kaum Muslim masih berakidah Islam. Akan tetapi, akidah Islam hanya menjadi asas dalam kehidupan individual kaum Muslim seperti shalat, shaum, zakat, dan ibadah ritual lainnya; belum menjadi asas dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, yang menjadi asas kehidupan adalah ideologi sekularisme. Buktinya, asas negara bukanlah akidah Islam, kedaulatan untuk membuat hukum pun diserahkan kepada manusia. Dari asas sekular ini kemudian muncul aturan-aturan kehidupan yang juga sekular. Secara umum, aturan ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, didasarkan pada sistem sekular, bukan hukum-hukum Islam. Artinya, persoalan sekarang ini adalah persoalan sistemik, bukan sekadar persoalan individual.

Selama asas kehidupan negara masih sekularisme dan aturan kehidupan Indonesia juga masih sekular, jangan berharap terjadi perubahan mendasar. Sebab, sistem sekular inilah yang justru menjadi pangkal dari berbagai persoalan rakyat Indonesia saat ini. Asas negara yang sekular telah mengebiri hukum-hukum Islam menjadi sebatas persoalan individual, moralitas, dan ritual ibadah. Kalaupun ada pengadilan agama, ya sebatas mengurus nikah dan talak, plus waris, itupun sekadar pilihan. Itu pun masih dipersoalkan oleh sebagian kalangan, terutama kaum Islam Liberal. Akibatnya, Islam sebagai solusi menjadi tidak fungsional.

Pandangan hidup yang sekular ini juga telah merusak asas ketakwaan yang seharusnya dimiliki oleh para pejabat negara. Wajar kalau kemudian rasa takut para pejabat negara kepada Allah Swt. untuk bermaksiat menjadi hilang. Korupsi merajalela. Penguasa juga tidak lagi takut melantarkan rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan mereka seperi: menggusur rumah rakyat, menaikkan tarif kesehatan dan pendidikan, mencabut subsidi BBM, dll.

Lebih dari itu, pandangan hidup sekular ini telah menjadikan kerakusan terhadap materi (harta) dan kekuasaan menjadi tujuan hidup. Dalam kondisi seperti ini, naiknya gaji juga tidak akan banyak membawa perubahan. Penguasa yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat berubah menjadi pemeras masyarakat untuk mengumpulkan kekayaan pribadi sebanyak-banyaknya.

Demikian pula, seandainya tidak ada perubahan aturan-aturan kehidupan bernegara, jangan berharap terjadi perubahan. Inilah yang tampaknya terjadi pada pemerintahan baru ini. Dipilihnya menteri-menteri yang dikenal pro IMF menunjukkan tidak ada keinginan kuat dari penguasa baru untuk mengubah kebijakan ekonomi yang selama ini bergantung pada IMF. Artinya, kebijakan-kebijakan ekonomi ke depan kelihatannya tetap menggunakan standar Kapitalisme, yang justru sebenarnya telah menyebabkan penderitaan rakyat. Beban utang luar negeri yang tinggi, dicabutnya berbagai subsidi, dan privatisasi BUMN tampaknya akan tetap berlangsung. Padahal, sudah banyak diketahui bahwa kebijakan-kebijakan ala Kapitalisme inilah yang justru telah memiskinkan rakyat.

Kondisi perpolitikan juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya selama asasnya tetap sekular. Sistem demokrasi yang dibanggakan tidak lebih merupakan eksploitasi para elit politik atas rakyat, justru untuk kepentingan mereka. Paradigma politik yang didasarkan pada upaya mempertahankan dan merebut kekuasaan telah melahirkan sikap kompromistis para penguasa dan wakil rakyat.

Apa yang terjadi pada awal pembentukan DPR baru kemarin, yaitu ketika terjadi perseteruan antara Koalisi Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan, mengindikasikan hal ini. Rebutan jabatan komisi di DPR tidaklah berhubungan dengan kepentingan rakyat. Itu tidak lebih dari upaya membangun bergaining power di antara mereka sendiri. Diperkirakan, politik uang masih akan berlangsung di DPR. Sudah menjadi rahasia umum kalau pengesahan RUU menjadi proyek pribadi para wakil rakyat dan penguasa untuk mencari uang. Kita tentu ingat tercecernya kuitansi dan cek di DPR sebelumnya. Kondisi ini tidak akan jauh berbeda. Apalagi kalau kekuasaan dianggap sebagai lahan bisnis. Akibatnya, kekuasaan bukan dimaksudkan untuk mengurus rakyat, tetapi untuk 'menguras' rakyat.

Berpolitik dijadikan alat untuk mengembalikan modal politik selama kampanye dan meraih keuntungan dari uang yang selama ini telah dikeluarkan. Kalau masih seperti ini, DPR tetap akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada pemilik modal.

Hanya Dinul Islam sebagai Solusi
Tidakkah kita cukup menderita selama lebih dari 50 tahun di bawah sistem sekular? Sudah berapa kali terjadi pergantian kepada negara? Semuanya menjanjikan perubahan. Mereka pun lengkap dengan para menteri, dengan solusi-solusi kapitalisnya. Janji demi janji pun telah berulang diucapkan. Apakah berhasil? Tidak!

Sudah berapa pakar ekonomi kapitalis yang mengurus ekonomi rakyat? Mereka semuanya sangat pakar, banyak yang lulusan luar negeri, tetapi ternyata mereka tidak mampu memberikan solusi bagi rakyat.

IMF sudah turun tangan. Organ utama Kapitalisme ini bahkan membuat kebijakan-kebijakan yang sangat rinci terhadap ekonomi Indonesia. Toh ia juga gagal, bahkan membuat krisis semakin menjadi-jadi. Lalu masihkan kita berharap pada sistem kapitalis seperti ini?

Saatnyalah kita kembali pada Dinul Islam sebagai solusi kehidupan kita. Dinul Islam yang bersumber dari wahyu Allah adalah sistem sempurna karena bersumber dari Zat Yang Mahasempurna, Allah Swt. Dialah Yang menciptakan manusia dan paling tahu tentang apa yang terbaik untuk manusia. Sayang, kita justru telah mencampakkan Dinul Islam ini, dengan menggantinya dengan aturan hidup kapitalis yang berasal dari penjajah.

Dicampakkannya aturan Islam, terutama dalam masalah publik, inilah yang telah menyebabkan penderitaan rakyat. Allah Swt. telah mengingatkan kita tentang hal ini. Semuanya adalah buah dari kemaksiatan kita karena kita tidak berhukum pada hukum-hukum Allah Swt. Mahabenar Allah Swt. dengan firman-Nya:
]فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى% وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 123-126).

Walhasil, kalau kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan cara menerapkan syariat Islam, kita tidak akan tersesat dan celaka. Inilah yang telah diingatkan oleh Rasulullah saw. melalui sabdanya:
«تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
Aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara; kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. (HR Malik).

Di sinilah urgennya kita untuk menjadikan kembali al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber konstitusi kita. Dengan kata lain, kita harus menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam kehidupan masyarakat kita, dan kita harus menerapkan syariat Islam semata. Semua ini membutuhkan pemerintahan Islam yang disebut dengan Daulah Khilafah Islamiyah. Inilah yang akan memberikan solusi atas berbagai urusan kehidupan kita.

Walhasil, kalau sistem pemerintahannya masih sistem sekular, jangan berharap terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb. []

Posting Komentar untuk "TANPA ISLAM, TAK AKAN ADA PERUBAHAN MENDASAR"