Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ayah Serupa Nabi Yusuf?

Ayah itu mirip dengan Nabi Yusuf. Lelaki tergagah yang pernah Allah hadirkan di dunia. Sampai kini tak dan hingga kiamat nanti tidak ada yang menandingi kegagahan Nabi Yusuf. Apa betul ayah mirip dengan beliau? Ya, betul. Tidak percaya? Begini kisahnya.
 
Oh iya, tunggu dulu, jangan salah kaprah, kemiripan yang saya maksud, bukan dari raut wajah. Kalau dari ukuran wajah, ayah, saya dan sahabat sekalian kalah jauhlah dari Nabi Yusuf. Seganteng-gantengnya lelaki yang ada sekarang, belum ada yang seganteng Nabi Yusuf. Belum ada kegantengan yang kuasa membius wanita. Seperti yang dipunyai Nabi Yusuf. Wajahnya yang memesona membuat para wanita bangsawan terkesima. Sampai-sampai mereka tidak sadar telah mengiris-ngiris tangannya. Wah tidak terbayang, seperti apa kegantengan Nabi Yusuf.
Lalu bagian mana dari ayah yang mirip dengan Nabi Yusuf? Tentang godaan yang pernah dialaminya. Mahsyur sudah sebuah kisah, bahwa Nabi Yusuf pernah digoda oleh istri raja. Inilah godaan terberat untuk seorang lelaki. Didekati wanita yang jelita, kaya raya lagi berkuasa. Cobaan ini semakin berat, saat hati Nabi Yusuf pun memiliki keinginan kepada istri sang raja. Kalau yang datang wanita yang tidak kita suka, itu bukan godaan namanya. Gampang saja ditinggalkan. Tapi lain cerita kalau yang datang itu menggoda hati.
Mirip dengan Nabi Yusuf, ayah pernah mengalami hal yang mirip-mirip. Dan ini beliau rasa sebagai salah satu godaan terberat dalam hidupnya. Semua terjadi saat beliau masih menjadi sopir bus tujuan Ujung Pandang. Sesampai ditujuan, lumrahnya semua penumpang akan bergegas turun. Namun ada seorang penumpang wanita yang bergeming. Dia diam seribu bahasa tak juga turun. Parasnya, bolehlah dikatakan rupawan untuk ukuran gadis desa. Melihat ada satu penumpang yang tak kunjung turun, mengundang tanda tanya di hati ayah. Ayah mendekatinya.
“Maaf, kenapa belum turun?” Tanya ayah, sembari dada berdegup kencang. Normallah. Lelaki ketemu wanita, pasti terjadi sesuatu dalam hati masing-masing, apalagi buat laki-laki yang jarang berinteraksi dengan wanita (berdua-duaan saja).
Dengan gaya sedikit menggoda, entah apa maksudnya, sang wanita menjawab, “Saya tidak bisa bayar.”
Mendengar itu, ada rasa iba yang tumbuh di hati ayah. Siapa yang tak luluh hatinya, melihat seorang wanita sebatang kara, tak punya uang membayar ongkos bus. “Ya sudah. Saya mengerti. Biar nanti saya yang bayarkan. Gampang saja, dipotong dari gaji saya.” Ayah memberi solusi.
Masalah belum selesai. Justru di sinilah masalah sebenarnya baru terjadi. Wanita itu tak kunjung turun. Padahal sudah ditawari jalan keluar yang cukup memuaskan. Ayah langsung tersentak, ketika mendengarkan sebuah tawaran yang menggoda, bagi lelaki manapun. Menggoda namun menjerumuskan ke kubangan dosa. “Bagaimana jika saya ‘menemani’ bapak malam ini?”
Ah sahabat, anda semua tahu, apa makna “menemani” yang ditawarkan oleh wanita itu. Untunglah keimanan ayah tak goyah. “Maaf saya sudah beristri.” Ini jawaban ayah. Jawaban dari lelaki sejati. Entahlah apabila godaan ini berlaku pada kita. Kuatkah kita untuk mengatakan tidak? Dimana kondisi sangat memungkinkan?
Saat ayah menuturkan kisah ini, ada penasaran dan tanya yang singgah dalam hati. Mengapa dengan begitu gagah, ayah menolak ajakan si wanita? Padahal kalau mau, tak akan ada orang yang tahu. Istri pun jauh.  Sembari tersenyum ayah mengingat-ingat kisahnya puluhan tahun lampau. Ayah menolak ajakan wanita yang bukan istrinya, teringat dengan nasehat guru waktu bersekolah di SD Muhammadiyah. Walau hanya sampai kelas dua saja, ilmu yang didapat ternyata mengakar kuat. Kadang-kadang memang begitu. Keteguhan iman tidak bisa dilihat dari tingginya sekolah. Banyaknya ayat yang dihafal. Atau seberapa sering mengunjungi baitullah. Ada orang yang sedikit saja pengetahuan agamanya. Hafalan ayatnya pun ala kadarnya. Tajwidnya juga masih belepotan. Namun pengetahuan agamanya yang sedikit itu, betul-betul terpatri dalam hati. Dan tertanam menjadi keimanan yang teguh.
Ayah adalah salah satu contoh orang yang seperti itu. Pengetahuan agamanya tak banyak amat. Berbekal ilmu sampai kelas 2 SD, salat lima waktu tak pernah beliau lalaikan. Meskipun penguasaan beliau terhadap Al-Quran belum terlalu baik. Dasarnya ayah memang orang yang senang belajar. Selalu ingin tahu. Dia belajar secara otodidak. Tanpa guru hanya dengan buku. Ada satu buku yang sangat membantu ayah memahami Islam. Bukunya berjudul “Risalah Doa”. Inilah buku yang menjadi teman setianya. Menjawab segala tanya bila ada. Satu-satu, beberapa doa mulai beliau hapal dan amalkan. Kelebihan buku ini, adalah punya tiga teks. Ada teks arab, artinya dalam bahasa Indonesia dan tulisan latin dari bahasa Arab. Ini sangat membantu, untuk mereka yang belum lancar membaca Al-Quran dalam tulisan aslinya. Dan ternyata, nama saya “Sabran” terambil dari penulis buku Risalah Doa itu. Mungkin harapan ayah, kelak anaknya yang bernama Muhammad Sabran ini, bisa mengikuti jejak sang penulis buku Risalah Doa. Menebar inspirasi dan bermanfaat untuk banyak orang. Kalau memang begitu harapan ayah, insya Allah ananda akan menunaikannya segera dan semampu yang ananda bisa. Penulisan buku ini, adalah salah satu ikhtiar untuk berbagi inspirasi. Kepada anak, yang rindu berbakti pada orang tua. Selain buku yang bernuansa religi, ayah juga gemar membaca buku kesehatan. Apalagi jika membahas tentang pijat refleksi. (MS)

Posting Komentar untuk "Ayah Serupa Nabi Yusuf?"